Keluarga C-139 memiliki sejarah produksi yang paling panjang dari seluruh pesawat militer. Yang pertama prototipe YC-130 terbang pada 23 Agustus 1954 dari pabrik Lockheed di Burbank, California, Amerika Serikat. Pesawat bermesin turboprop tersebut dipiloti oleh Stanley Beltz dan Roy Wimmer. Setelah kedua prototipe selesai, produksi dipindahkan ke Marietta, Georgia, di mana lebih dari 2.000 C-130 dibuat.
Pesawat di Indonesia
Indonesia menerima 10 pesawat C-130 dari pemerintah Amerika Serikat sebagai penukar tawanan pilot CIA Allen Pope yang terlibat membantu pemberontakan Permesta di Sulawesi pada tahun 1958.
Pada tahun 1975, Indonesia menerima 3 C-130B. Pada tahun 1980-an, di bawah program untuk meningkatkan kemampuan angkatan udara Indonesia, 3 buah C-130H, 7 C-130HS (long body), 1 C-130 MP (patroli maritim), 1 L-100-30 (untuk keperluan sipil), dan enam L-100-30s yang dioperasikan oleh PT Merpati dan Pelita Air untuk keperluan transmigrasi. TNI AU juga mengoperasikan 2 KC-130 (versi air refuelling C-130) untuk keperluan pengisian bahan bakar di udara (sampai hari ini masih beroperasi).
Pada tahun 199 Senat Amerika Serikat mengeluarkan larangan penjualan senjata dan pembekuan hubungan militer dengan Indonesia, yang berkaitan dengan krisis Timor-Timur. Ini menyebabkan 17 pesawat C-130 tidak layak terbang karena tidak adanya suku cadang. Pada tanggal 20 September 2000, setelah Presiden Abdurrahman Wahid dan Menteri Pertahanan Mahfud berbicara dengan Menteri Pertahanan Amerika Serikat William Cohen pada pertemuan awal September, pemerintah Amerika Serikat menyatakan akan mengijinkan eksport suku cadang ke Indonesia. Tetapi sampai bertahun-tahun import suku cadang dari Amerika Serikat tidak pernah dijalankan dan TNI kemudian mengimport suku cadang dari negara lain.
Senat Amerika Serikat tetap menyatakan pelarangan penjualan senjata ke Indonesia, tetapi memberi presiden Amerika Serikat hak perkecualian.
Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono menyatakan bahwa sekitar 70% budget militer Indonesia pada tahun 2009 akan dipergunakan untuk membeli pesawat C-130. Dari 24 pesawat, hanya 6 yang masih layak terbang. Sementara itu pemerintah Amerika Serikat dan Australia berjanji akan memberi bantuan pembelian 6 buah Hercules tipe E dan J. Namun, Indonesia kemungkinan lebih tertarik membeli tipe J (C-130J Super Hercules) yang memiliki kemampuan angkut yang lebih tinggi dan mesin yang lebih efisien.
Versi sipil
Versi sipil dari C-130 Hercules adalah Lockheed L-100 Hercules. Merpati Nusantara Airlines tercatat pernah mengoperasikan pesawat jenis L-100-30, perbedaan utama dengan versi militer adalah mesin yang lebih lemah, jendela yang lebih banyak, dan dihilangkannya pintu besar di belakang badan pesawat. Dikemudian hari L-100 Merpati dihibahkan kepada TNI-AU untuk melengkapi armada Hercules di skadron udara 17 dan 31 yang berkedudukan di Halim, Jakarta. Selain Indonesia, beberapa negara juga menggunakan versi sipil dari Hercules ini, bahkan beberapa negara seperti Aljazair, Kuwait dan Gabon, menggunakan L-100 untuk kepentingan militer mereka. Total hanya 114 L-100 yang terjual, produksi terakhir terjadi pada tahun 1992. ikemudian hari L-100 dikembangkan menjadi L-100J yang ekuivalen dengan C-130J lengkap dengan mesin turboprop canggih Rolls-Royce (Allison) AE-2100D3, baling-baling enam bilah, dan EFIS dua kru, tapi program ini dibatalkan pada tahun 2000 karena Lockheed ingin fokus di versi militer saja.
Varian L-100:
L-100 (sekelas C-130E)
L-100-20 (badan pesawat diperpanjang 8,3 kaki)
L-100-30 (badan pesawat diperpanjang 15 kaki, merupakan versi terlaris)
L-100-40 (dibatalkan)
Kejadian yang melibatkan C-130 Hercules
Pada 20 Mei 2009, Hercules TNI AU jatuh di desa Nggeplak, Kecamatan Karas, Magetan, Jawa Timur
Pada 17 Agustus 1988 Muhammad Zia-ul-Haq, Presiden Pakistan sejak 1978, tewas , ketika C-130 yang dia tumpangi jatuh setelah lepas landas. Duta Besar dan Jenderal Amerika Serikat pada waktu itu juga turut meninggal, bersama dengan orang lainnya yang berada dalam pesawat tersebut. Banyak pihak yang menduga bahwa kecelakaan ini adalah tindakan pembunuhan (disengaja dan direncanakan).
Hercules TNI AU jatuh di daerah Condet Jakarta, menewaskan 133 prajurit Pasukan Khas (Paskhas) TNI AU dan 2 warga sipil. Tragedi di Condet terjadi pada 5 Oktober 1991 dalam perayaan HUT ABRI ke 46.
Ketika Sri Sultan Hamengkubuwono IX wafat, jenazahnya diaterbangkan dari Washington DC, AS ke Indonesia dengan menggunakan pesawat Hercules
Pendaratan Hercules pertama dikapal induk (KC-130F/Tanker) terjadi pada tanggal 30 Oktober 1963. Di Kapal Induk USS Forrestal (CVA-59). Diawaki oleh Letnan James H. Flatey III, LtCdr. WW Stovall, ADR-1 EF Brennan dan test pilot Lockheed Ted Limmer, Jr.
Atas pembebasan pilot Allen Pope Presiden RI Soekarno ditawari Presiden AS John F. Kennedy hadiah. Sebagai hadiahnya Soekarno meminta untuk ditunjukan wujud pesawat hercules yang masih baru pada saat itu. Alhasil Indonesia menjadi pengguna pertama C130 B di luar AS pada 1960. Kesepuluh pesawat C130B (termasuk dua varian tanker KC 130B) ini menjadi embrio lahirnya Skadron Angkut Berat Jarak Jauh TNI AU.
Specifications (C-130H)
Data dari USAF C-130 Hercules fact sheet, International Directory of Military Aircraft, Complete Encyclopedia of World Aircraft,[4] Encyclopedia of Modern Military Aircraft[5]
Ciri-ciri umum
Kru: 5: (two pilots, navigator, flight engineer and loadmaster)
Kapasitas:
92 passengers or
64 airborne troops or
74 litter patients with 2 medical personnel or
6 pallets or
2–3 High Mobility Multipurpose Wheeled Vehicle(HMMWV) or
1 M113 armored personnel carrier
Daya muat: 45,000 lb (20,000 kg)
Panjang: 97 ft 9 in (29.8 m)
Rentang sayap: 132 ft 7 in (40.4 m)
Tinggi: 38 ft 3 in (11.6 m)
Luas sayap: 1,745 ft² (162.1 m²)
Berat kosong: 75,800 lb (34,400 kg)
Berat berguna: 72,000 lb (33,000 kg)
Berat maksimum saat lepas landas: 155,000 lb (70,300 kg)
Mesin: 4 × Allison T56-A-15 turboprops, 4,590 shp (3,430 kW) masing-masing
Kinerja
Laju maksimum: 320 knots (366 mph, 592 km/h) at 20,000 ft (6,060 m)
Laju jelajah: 292 kn (336 mph, 540 km/h)
Jangkauan: 2,050 nmi (2,360 mi, 3,800 km)
Langit-langit batas: 23,000 ft (7,000 m)
Laju tanjak: 1,830 ft/min (9.3 m/s)
Takeoff distance: 3,586 ft (1,093 m) at 155,000 lb (70,300 kg) max gross weight;[5] 1,400 ft (427 m) at 80,000 lb (36,300 kg) gross weigh
Posting Komentar